CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Senin, 15 Juni 2009

Wireline Logging

Pada saat ini harga minyak sedang membumbung tinggi, dan sempat menembus angka $130 yang merupakan harga tertinggi dalam sejarah industri perminyakan. Negara-negara pengekspor minyak menikmati windfall profit yang tidak sedikit, termasuk negara-negara yang tergabung dalam OPEC (kecuali Indonesia?). Demikian halnya dengan perusahaan-perusahaan minyak, dimana kondisi harga minyak yang tinggi ini membuat Exxon Mobil mampu muncul sebagai perusahaan yang menghasilkan akumulasi profit tertinggi (2000-2004) sebesar $88.1 milyar melampaui General Electric ($74.2 milyar).

Cadangan minyak dunia terus menurun, dikarenakan temuan sumber-sumber minyak baru tidak seimbang dengan kebutuhan energi yang ada. Negara adidaya seperti Amerika Serikat membutuhkan bahan bakar minyak sekitar 21 juta barrel per hari, ini lebih dari dua puluh kali lipat produksi minyak Indonesia sekarang, dan 60% kebutuhannya harus diimport dari luar Amerika. Ditambah lagi dengan China yang didorong oleh kemajuan ekonominya merubah negara ini semakin ‘rakus’ akan energi, serta India yang juga sedang mengalami kemajuan ekonomi yang pesat.

Kondisi politik dibeberapa negara penghasil minyak juga merupakan faktor pendorong naiknya harga minyak. Gejolak di Irak yang tidak kunjung reda ditambah dengan pertikaian antara Turki dengan orang-rang Kurdish di bagian barat-utara Irak , kondisi politik di Venezuela, masalah nuklir di Iran dan sengketa antar suku serta kegiatan bersenjata oleh para pemuda liar (area boys) didaerah penghasil minyak di Nigeria, memberikan kontribusi terhadap tingginya harga minyak saat ini.

Lalu darimana sumber energi lainnya akan didapatkan? Berbicara tentang hidrogen sebagai sumber energi yang terbarukan masih membutuhkan waktu yang panjang. Sekitar dua puluh tahun lagi menurut prediksi para ahli, hidrogen dapat menjadi sumber energi yang ekonomis setelah masalah-masalah teknis dasar mulai dari cara penyimpanannya hingga aspek keselamatan pemakaian energi hidrogen dapat teratasi. Jadi posisi minyak sebagai sumber energi utama masih belum dapat disingkirkan, yang diikuti oleh batu bara dan gas alam sebagai sumber energi.

Awal Mula Evaluasi Formasi

Kapan sebenarnya sumur minyak mulai digali? Dari catatan yang ada disebutkan bahwa di China (sekitar tahun 347 SM) sumur minyak digali sampai ke dalaman 800 kaki dengan menggunakan bambu yang ujungnya dipasang mata bor. Marco Polo ketika dalam perjalanannya tahun 1264 mencatat bahwa orang di Baku, Azerbaijan telah menggunakan minyak dari dalam tanah sebagai penerangan ketika orang di Eropa masih menggunakan minyak dari ikan paus.


Sucker Rod Pump

A.Sucker Rod Pump
Sucker rod pump merupakan salah satu metoda artificial lift dengan memanfaatkan sumber tenaga yang berupa listrik atau gas dari prime mover untuk menggerakkan pompa sehingga fluida pada formasi dapat naik ke permukaan
Keuntungan penggunaan sucker rod pump adalah :
1.Efisien dan mudah dalam pengoperasian di lapangan
2.Masih bisa digunakan untuk mengangkat fluida pada sumur yang mengandung pasir
3.Dapat dipakai pada sumur bengkok (directional).
4.Dapat digunakan untuk sumur yang memiliki tekanan rendah
5.Fleksibel karena kecepatan pompa dan stroke length dapat disesuaikan
6.Dapat digunakan pada berbagai ukuran tubing
7.Dapat menggunakan gas atau listrik sebagai sumber tenaga penggerak

B.Komponen Sucker Rod Pump
Peralatan pada sucker rod pump (Gambar 2) dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu :


GAMBAR 1
KOMPONEN SUCKER ROD PUMP

1. Prime Mover
Fungsi dari prime mover adalah mengalirkan sumber tenaga yang dapat menggerakkan pompa sehinga fluida dapat naik ke permukaan. Jenis prime mover ada dua macam, yaitu elektrik dan engine. Pemilihan jenis prime mover yang akan digunakan disesuaikan dengan keberadaan listrik dan sumber gas yang ada.

2. Surface Equipment
Fungsi dari surface equipment adalah memindahkan sumber energi dari prime mover ke unit peralatan pompa di dalam sumur sehingga gerak putar prime mover diubah menjadi gerak naik turun sucker rod dan diperoleh kecepatan pompa yang diinginkan.
Adapun bagian-bagian dari surface equipment :
a. Gear reducer,merupakan rangkaian roda gigi yang berfungsi untuk mengurangi kecepatan prime mover. Hal ini penting karena kecepatan putar motor pada prime mover akan mempengaruhi kecepatan pompa.
b. V-Belt, merupakan sabuk untuk memindahkan gerak dari prime mover ke gear reducer.
c. Crank, fungsinya menghubungkan crank shaft pada gear reducer dengan counter weight untuk mengatur stroke length dengan mengubah posisi dari pitman bearing
d. Counter weight, berfungsi sebagai menyeimbangkan gerakan saat upstroke dan downstroke dengan cara menyimpan tenaga prime mover pada saat down stroke dimana tenaga yang diperlukan minimum dan mengeluarkan tenaga pada saat upstroke sehingga terjadi perataan pembebanan.
e. Pitman, fungsinya untuk menghubungkan pitman bearing dengan walking beam yang berfungsi mengubah gerak putar menjadi gerak naik turun.
f. Walking beam, fungsinya untuk meneruskan gerak naik turun yang dihasilkan oleh rangkaian pitman-counter weight-crank ke rangkaian yang ada di dalam sumur melalui polished rod.
g. Carrier bar, fungsinya sebagai tempat bergantungnya polished rod dan rangkaian sucker rod yang ada di dalam sumur
h. Polished Rod, merupakan bagian teratas dari rangkaian rod yang muncul di permukaan dan berfungsi menghubungkan antara rangkaian rod di dalam sumur dengan peralatan-peralatan dipermukaan
i. Stuffing box, merupakan tempat kedudukan polished rod sehingga polished rod dapat naik turun dengan bebas dan berfungsi untuk mengisolasi sumur dan mencegah agar fluida tidak ikut keluar waktu naik turunnya polished rod.
j. Sampson Post, sebagai penyangga walking beam.
k. Briddle , tempat menggantungkan carrier bar.
l. Flow Tee, untuk mengalirkan fluida ke flowline.
m. Flow line, fungsinya sebagai tempat mengalirnya fluida hasil pemompaan.

3. Subsurface Equipment
Peralatan bawah permukaan berfungsi sebagai pompa untuk mengangkat fluida pada formasi ke permukaan. Bagian peralatan bawah permukaan sebagai berikut :
a. Working Barrel merupakan tempat dimana plunger dapat bergerak naik turun dan berfungsi sebagai tempat menampung fluida sebelum fluida diangkat plunger pada saat upstroke. Pompa di bawah permukaan berdasarkan working barrel ada dua macam, yaitu tubing pump dan rod pump (insert pump). Dikatakan tubing pump karena posisi barrel dari pompa menyatu dengan tubing sehingga waktu sucker rod dicabut pada saat servis maka barrel tetap berada di bawah tidak ikut tercabut. Sedangkan rod pump, posisi dari barrel menyatu dengan sucker rod sehingga bila sucker rod dicabut saat servis maka barrel akan ikut tercabut (Gambar 3).
b. Plunger merupakan bagian dari pompa yang terdapat di dalam working barrel yang berfungsi untuk mengangkat fluida dari reservoir ke permukaan .
c. Travelling Valve merupakan katup yang berada di bawah plunger yang bergerak sesuai dengan pergerakan plunger, dimana posisinya akan terbuka pada saat downstroke sehingga fluida dapat masuk ke dalam plunger. Posisinya akan tertutup pada saat upstroke sehingga dapat menahan fluida yang sudah masuk ke dalam plunger agar tidak keluar.
d. Standing Valve merupakan katup yang berada pada bagian bawah working barrel dimana posisinya akan terbuka pada saat upstroke sehingga fluida dari dalam sumur dapat masuk ke dalam working barrel. Posisinya akan tertutup pada saat downstroke sehingga menahan fluida yang sudah masuk ke dalam working barrel agar tidak keluar.
e. Sucker rod merupakan batang besi yang menjadi tempat bergantungnya plunger dan berfungsi meneruskan gerak naik turun dari surface equipment ke unit pompa di bawah permukaan. Dalam perencanaan sucker rod diusahakan agar rod yang dipakai ringan sehingga untuk kedalaman yang besar pemakaian rod harus dikombinasikan (tapered rod string).
f. Seating nipple merupakan tempat dudukan dari standing valve sehingga standing valve tidak terlepas pada saat upstroke atau downstroke.
g. Tubing berfungsi mengalirkan fluida dari dasar sumur ke permukaan dimana fluida mengalir melalui ruang antar sucker rod dan tubing

C. Prinsip Kerja
Prinsip kerja dari sucker rod pump (Gambar 4) adalah sebagai berikut :
1. Pada saat downstroke dimana plunger bergerak turun ke bawah sehingga posisi traveling valve semakin mendekati standing valve. Hal ini mengakibatkan tekanan pada ruang antara traveling valve dan standing valve lebih besar dibandingkan tekanan di atas traveling valve dan di bawah standing valve sehingga ball pada traveling valve akan terdorong ke atas (traveling valve terbuka) sedangkan ball pada standing valve akan turun ke bawah (standing valve tertutup). Dengan demikian fluida yang ada pada ruang antara traveling valve dan standing valve akan masuk ke dalam plunger.


GAMBAR 2
PRINSIP KERJA SUCKER ROD PUMP


2. Pada saat upstroke dimana plunger bergerak naik ke atas sehingga posisi traveling valve semakin menjauh dari standing valve. Hal ini mengakibatkan tekanan di atas traveling valve semakin besar dan ball pada traveling valve akan terdorong ke bawah (traveling valve tertutup). Dengan demikian fluida tidak bisa keluar dari plunger dan ikut terangkat ke atas menuju tubing. Dikarenakan tekanan pada ruang antara traveling valve dan standing valve lebih kecil dibandingkan tekanan di bawah standing valve maka ball pada standing valve akan naik ke atas (standing valve terbuka) didorong oleh fluida yang ada di dalam sumur sehingga fluida tersebut mengisi ruang antara traveling valve dan standing valve.
D. Inflow Performance Relationship (IPR)
Inflow Performance Relationship (IPR) menyatakan hubungan antara laju produksi (qo) dengan selisih antara tekanan reservoir (Ps) dan tekanan dasar aliran sumur (Pwf). Persamaan Gilbert dipakai untuk aliran fluida satu fasa :
PI = qo/Ps - Pwf...........(1)
dimana :
PI = indeks produktivitas, bopd/psi
Ps = tekanan statik sumur, psi
Pwf = tekanan aliran dasar sumur, psi
qo = laju produksi minyak, bopd

Berdasarkan hasil penelitian Vogel (1968), untuk aliran fluida 2 fasa (minyak dan gas) diperoleh bentuk kurva IPR berupa lengkungan (Gambar 3) dan diasumsikan bahwa sumur tidak mengalami kerusakan ataupun perbaikan. Kurva IPR dua fasa oleh Vogel diformulasikan dalam bentuk persamaan berikut:
.................(2)
dimana :
q max = laju produksi maksimal (BPD)
qo = laju produksi awal (BPD)
Pwf = tekanan alir dasar sumur (Psi)
Ps = tekanan statik dasar sumur (Psi)

GAMBAR 3
KURVA IPR DUA FASA

Untuk membuat kurva IPR dua fasa tersebut, maka langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
a. Hitung Qmax berdasarkan data Qo, Pwf dan Ps dengan menggunakan persamaan (2).
b. Dari hasil Qmax yang telah didapatkan berdasarkan butir (a), gunakan kembali persamaan (2) dengan mengasumsikan beberapa harga Pwf untuk selang interval 0 ≤ Pwf ≤ Ps. Selanjutnya hitung Qo berdasarkan asumsi dari nilai Pwf tersebut.
c. Buat kurva IPR Vogel berdasarkan hubungan antara Pwf (sumbu tegak, Y) dengan Q (sumbu horizontal, X).

E. Faktor-Faktor Penting Dalam Perencanaan Sucker Rod Pump
Faktor-faktor penting dalam perencanaan sucker rod pump adalah pump displacement yang sesuai dengan laju produksi yang diharapkan dan efisiensi pompa.
Adapun parameter yang mempengaruhi banyaknya volume fluida yang diangkat oleh pompa adalah diameter plunger, stroke length dan kecepatan pompa. Hubungan ketiga parameter tersebut dapat dilihat pada persamaan : 4)
PD = 0,1166 x Sp x N x Dp2….........……………………………………(3)
dimana :
PD = kapasitas pompa (B/D)
Sp = stroke length effective (in)
N = kecepatan pompa (stroke/ menit)
Dp = diameter plunger (in)
Besarnya kapasitas pompa akan menunjukkan laju produksi yang dihasilkan. Akan tetapi, besarnya kapasitas pompa di bawah permukaan ternyata tidak sama dengan produksi yang dihasilkan waktu sampai di permukaan. Hal ini dikarenakan adanya kapasitas yang hilang saat fluida mengalir ke permukaan.
Oleh karena itu, untuk memperoleh nilai yang objektif dari laju produksi yang dihasilkan oleh pompa, maka kapasitas pompa dikalikan dengan efisiensi pompa. Efisiensi pompa biasanya dinyatakan dalam bentuk persen dan umumnya kurang dari 100% yaitu antara 70% - 80%. Hubungan laju produksi, kapasitas pompa dan efisiensi pompa dapat dilihat pada persamaan berikut : 2)
Qf = Ev x PD……………………………….........................(4)
dimana :
Qf = laju produksi fluida (BFPD)
Ev = efisiensi pompa
PD = kapasitas pompa (BFPD)

Minggu, 14 Juni 2009

Enhance Oil Recovery (EOR)

1. Klasifikasi Produksi Hidrokarbon

Produksi awal hidrokarbon dari reservoir yang terletak di bawah tanah dilakukan dengan menggunakan energi pendorong alami dari reservoir. Jenis produksi ini diklasifikasikan sebagai produksi primer. Sumber energi pendorong alami yang terdapat pada reservoir berasal dari pembesaran volume fluida reservoir, pelepasan solution gas seiring dengan menurunnya tekanan, tekanan dari aquifer sekitar yang berhubungan, dan tekanan dari gaya gravitasi. Ketika energi pendorong alami sudah menjadi semakin kurang, sangatlah diperlukan untuk membantu meningkatkan tekanan dengan sumber eksternal (bukan dari energi pendorong dari dalam reservoir). Penambahan energi ini biasanya dicapai dengan injeksi fluida (gas alam atau air) ke dalam reservoir. Penggunaan metode injeksi ini diklasifikasikan sebagai produksi sekunder. Tujuan utama dari proses ini adalah untuk mempertahankan reservoir dalam keadaan bertekanan tinggi.
Produksi tersier dilakukan bila peningkatan energi pendorong secara eksternal pada produksi sekunder tidak bisa diaplikasikan, dikarenakan nilai recovery terlalu kecil. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai macam hal, misalnya sweep efficiency (efisiensi gerak fluida ketika melintasi suatu permukaan) yang rendah sehingga injeksi air menjadi tidak efisien. Pada produksi tersier dikenal metode EOR (Enhance Oil Recovery). Metode ini kemudian menjadi populer karena peningkatan produksi dengan metode ini cukup tinggi dan efektif.

2. EOR (Enhance Oil Recovery)

Pada produksi sekunder dilakukan pendesakan dengan air dan gas melalui sumur injeksi untuk mempertahankan tekanan dalam reservoir. Tapi seringkali air dan gas yang dimasukkan melalui sumur injeksi tidak memberikan tekanan yang cukup untuk mendorong minyak keluar. Hal ini disebabkan oleh sweep efficiency yang rendah. Permukaan batuan yang heterogen (memiliki rekahan, patahan, dan permukaan batuan dengan permeabilitas tinggi) menyebabkan aliran air dan gas yang masuk menjadi teralih ke tempat lain yang bukan merupakan zona yang mengandung minyak. Hal ini menyebabkan aliran air dan gas yang menuju zona minyak seolah-olah berkurang mobilitasnya.

Killing Well

Seputar Killing Well

Work Over and Well Service merupakan salah satu kegiatan dalam teknik operasi pada suatu sumur minyak. Pekerjaan ini bertujuan untuk perawatan sumur, kerja ulang pindah lapisan (KUPL), stimulasi dan reparasi sumur. Dengan melakukan perawatan dan reparasi sumur maka diharapkan dapat mengembalikan produksi sumur ke potensi sebelumnya. Sedangkan untuk meningkatkan produksi suatu sumur dapat dilakukan dengan cara stimulasi sumur dan melakukan kerja ulang pindah lapisan dengan cara pelubangan (Perforasi) lapisan baru. Didalam melakukan pekerjaan ini, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan agar kegiatan dapat berjalan baik. Salah satu faktor terpenting adalah pengetahuan mengenai tekanan formasi sumur. Pekerjaan Work Over baru bisa dilakukan apabila tekanan formasi sumur telah dapat dikendalikan. Kegiatan awal untuk mengamankan keadaan sumur disebut dengan Killing Well (mematikan sumur) yang dapat dilakukan dengan beberapa cara.

1. Tekanan formasi

Tekanan formasi adalah tekanan yang berasal dari fluida pengisi pori-pori dari batuan formasi. Pada proses kompaksi sedimen, tekanan pada lapisan di bawah akan terus bertambah seiring dengan penambahan lapisan dan tekanan di atasnya. Tambahan tekanan ini akan ditahan oleh matriks dan fluida pengisi pori-pori. Oleh karena itu, tekanan fluida pengisi pori dapat terus bertambah.

Sabtu, 13 Juni 2009

Vulkanisme Di Indonesia

1. PENDAHULUAN

Aktivitas batuan beku di Kepulauan Indonesia di beberapa tempat yang secara stratigrafi terletak pada batuan berumur tua hanya dijumpai dalam bentuk intrusi abisal dan hipabisal. Namun demikian aktivitas vulkanisma secara umum merupakan salah satu proses utama dalam perkembangan geologi kepulauan ini.
Kepulauan Indonesia adalah salah satu daerah gunungapi di dunia yang memiliki lebih dari 500 gunungapi muda dan 177 diantaranya aktif. Pengelompokan gunungapi ini terdiri dari gunungapi aktif dalam waktu sejarah, tahap solfatar dan fumarol dan lapangan solfatara-fumarol. Untuk Indonesia tahun 1600 diambil sebagai batas praktis untuk membatasi waktu sejarah menyebutkan gunungapi tersebut aktif atau tidak. Penyebutan ini sebenarnya relatif, karena boleh jadi suatu hari gunungapi yang pasif akan akan aktif lagi.

2. PRODUK LETUSAN GUNUNGAPI

Gunungapi-gunungapi di Kepulauan Indonesia menunjukkan tingkat letusan yang tinggi, dicirikan dengan material lepas yang dominan dibandingkan dengan seluruh material vulkanik yang keluar. Ritmann menghitung angka indeks erupsi gunungapi (IEG) dari Asia sekitar 95%, Filipina-Minahasa lebih dari 80%, Halmahera lebih dari 90%, Papua New Guinea lebih dari 90%, Busur Sunda sekitar 99%. Harga tertinggi IEG dalam sejarah tercatat pada letusan Tambora tahun 1815. Hal ini menunjukkan bahwa letusan yang kuat merupakan karakter dari gunungapi tipe orogen.

2.1. Breksi Gunungapi
Penamaan lahar pertama kali digunakan di Indonesia untuk menyebutkan breksi gunungapi yang ditransport oleh air. Istilah tersebut sekarang telah digunakan dalam acuan-acuan geologi dan vulkanologi. Lahar merupakan aliran lumpur yang mengandung material rombakan dan bongkah-bongkah menyudut berasal dari gunungapi. Endapan lahar mampu mencapai ketebalan beberapa meter sampai puluhan meter. Fragmen-frahmen penyusun terletak diantara matriks yang membulat sampai menyudut. Bongkah lava yang tertransport dapat mencapai beberapa meter kubik. Lahar dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu lahar dingin dan lahar panas. Lahar dingin tidaklah secara khusus berhubungan dengan aktivitas gunungapi. Ia dapat dipicu oleh hadirnya hujan di atas normal pada lereng yang tertutup oleh material lepas. Contoh lahar yang dipicu oleh hujan antara lain terdapat pada pelaharan G. Merapi yang mempunyai kisaran sebaran 25-30 km, serta lahar G. Raung mencapai jarak 40 km. Lahar dingin ini juga dapat dipicu oleh gempa, misalnya yang terjadi di Bengkulu pada tahun 1933. Lahar panas dapat disebabkan oleh pengosongan danau kawah, baik karena pembentukan kawah oleh amblesan maupun letusan. Letusan danau kawah akan menyebabkan arus lumpur panas, sehingga air akan bercampur dengan material gunungapi yang panas. Contoh pembentukan lahar ini terjadi di G. Kelud.
Guguran abu vulkanik di lereng gunungapi disebut ladu. Ladu merupakan campuran fragmen lava, dengan pasir dan abu yang dibentuk dari kubah aktif atau aliran lava. Ladu akan disebut sebagai awan-panas guguran ketika volume yang digugurkan menjadi besar dan terdiri dari bongkah lava membara merah pijar dan bergerak cepat. Apabila jumlah material yang gugur sangat besar, maka diasumsikan awan-panas guguran ini sudah merupakan karakter dari awan-panas letusan (Lacroix, 1930). Distribusi guguran gunungapi sangat dipengaruhi oleh topografi lokal. Guguran ladu cenderung mengikuti lembah; sementara guguran awan-panas akan menerjang melintasi lembah dan punggungan.
Suhu awan-panas di bagian dalam sangat tinggi, sementara di bagian tepi lebih cepat mendingin, sampai di bawah 450° C. Aliran awan-panas mampu menghanguskan tumbuh-tumbuhan, berbahaya bagi manusia dan hewan, serta merusak paru-paru. Suhu ladu relatif tinggi, diasumsikan suhu awal setingkat aliran lava antara 800°-1000° C. Setelah di kaki kerucut gunungapi suhu menurun menjadi 400o-450o C. Hartmann (1933) mengemukakan bahwa ladu G. Merapi mengandung COS, campuran berasal dari material organik dan belerang pada suhu di atas 400° C.
Hujan menyebabkan munculnya letusan sekunder yang kuat di endapan ladu baru. Ini merupakan hasil dari pembentukan uap air suhu tinggi, dan juga akibat oleh reaksi: COS+H20-CO2 t+H2S t+q (koefisien pemanas).
Neuman van Padang (1933) mengemukakan bahwa kecepatan jatuhan batu sekitar 30-35 m/detik pada kemiringan 35°, sedang kecepatan awan-panas guguran berawal dari 15-20 m/detik. Apabila terjadi peningkatan suhu lava dari 850°C menjadi 950°C, serta peningkatan kandungan gas, maka lava didorong ke luar oleh letusan kecil, sehingga masuk dalam kategori awan-panas letusan (Lacroix, 1930). Kecepatan awan-panas jenis ini sekitar 30-40 meter/detik, melebihi kecepatan guguran kubah lava. Penghancuran bongkah lava panas sepanjang peluncuran mendorong keluarnya gas yang tertekan. Efek dari pelepasan gas dan udara panas ini menjadikan tidak terjadi gesekan antar fragmen padat batuan. Ini menyebabkan selama terjadi awan-panas tidak terjadi bunyi bergemuruh.
Lacroix, Escher, dan Neuman van Padang telah menggolongkan awan-panas dari beragam aliran bongkah, pasir dan abu di lereng kerucut gunungapi. Semua awan-panas menunjukkan tipe guguran selama fase awal dan fase akhir dalam siklus erupsi, atau tipe letusan selama fase utama atau fase gas. Awan-panas ini naik tegak lurus ke atas, dan pada waktu yang sama suatu awan-panas menurun sepanjang lereng kerucut. Letusan memberikan jejak berbentuk kembang kol yang membubung ke atas.
Kerucut gunungapi muda mempunyai struktur labil sehingga mudah longsor dan membentuk rombakan di kaki lereng. Contoh kasus ini terdapat di G. Raung dan G. Galunggung. Di G. Raung, longsoran gunungapi membentuk bukit-bukit kecil di kaki gunungapi. Semula bukit-bukit ini dianggap pusat erupsi parasiter, tetapi Neuman van Padang (1939) membuktikan bahwa bukit tersebut merupakan sisa-sisa retas lava sepajang 60 km. Di sekitar G. Galunggung terdapat 3.600 bukit-bukit kecil yang dikenal dengan Perbukitan Seribu. Total volume bukit 142.4 juta m3, atau hanya 1/20 dari total volume sektor yang longsor. Pembentukan perbukitan ini diasumsikan terjadi karena kaldera dengan dinding tipis yang tersisa didorong ke luar, maka serakan dinding kaldera membentuk bukit-bukit di kaki gunungapi. Peristiwa di G. Raung dan G. Galunggung ini mungkin merupakan longsoran sangat besar yang kejadiannya dipicu oleh gempabumi, pembentukan retakan, guguran vulcano-tectonic, atau oleh erupsi ultra-volcanic seperti yang terjadi di Bandai-San di Jepang.

2.2. Pasir dan Debu Gunungapi
Breksi gunungapi nampak seperti hasil dekomposisi sekunder, penghancuran ekstrusi lava primer, pasir dan debu gunungapi. Transisi antara keduanya dibentuk oleh awan-panas dari ladu. Endapan seperti itu sering ditemukan di sekitar depresi volcano-tectonic seperti Toba dan Ranau di Sumatra. Endapan ini tidak disebarkan melalui udara, tetapi oleh aliran tufa mengikuti relief topografi. Aliran tufa ini dapat mencapai ketebalan beratus-ratus meter, dan endapan bagian bawah kadang terlaskan oleh proses auto-pneumatolitic, sebagai pembentukan ignimbrit. Endapan tersebut biasanya dihubungkan dengan erupsi celah jenis Katmaian.
Pasir dan debu akan tersebar di sekitar pusat erupsi gunungapi. Variasi endapan tersebut dengan breksi dan aliran lava akan membentuk struktur perlapisan (strato-volcanoes). Setelah letusan, abu vulkanik yang menutup permukaan. Pengendapan kembali abu vulkanik ini membentuk aliran lumpur dingin atau lahar di kaki gunungapi. Komposisi debu vulkanik yang dijatuhkan berubah sesuai dengan jarak dari pusat letusan. Unsur yang berat, seperti piroksen, ampibol dan bijih jatuh di dekat gunungapi, sedangkan partikel-partikel ringan dan gelas menyebar lebih luas.

2.3. Aliran Lava
Oleh karena explosivitas yang tinggi, breksi dan debu menjadi produk utama gunungapi di Indonesia, namun aliran lava juga merupakan gejala yang umum dijumpai. Contoh terbaru, lava mengalir dari celah pada G. Batur pada tahun 1926 (Stehn, 1928) dan aliran lava parasitik terjadi di G. Semeru pada tahun 1941 (Bemmelen, 1948). Tingkat kemampuan pengaliran sangat bervariasi. Aliran lava G. Merapi selama November-Desember 1930 rata-rata 300.000 m3 per hari, sedang pada tahun 1942-1943 rata-rata 12.000-15.000 m3 per hari.
Aliran lava panas relatif dinamis, mengikuti lembah sungai sebagai aliran, atau berlembar seperti tirai lava hasil erupsi fase B dari Tangkuban Prahu. Aliran lava dalam viskositas rendah dapat berbentuk lorong lava, sebab inti cairan lava terus mengalir setelah pembekuan mantel sebelah luar. Van Den Bosch (1941) mendeskripsikan contoh aliran lava andesitik ke dasitik yang jauh lebih kental, sehingga membentuk lidah lava.

2.4. Kubah Lava
Sifat kekentalan magma meningkat sebanding dengan penambahan kandungan silika. Sebagian andesit dan dasit yang sangat asam, akan mudah membentuk kubah, yang kadang-kadang disertai dengan lidah lava tebal menonjol pada bagian bawahnya. Banyak contoh dapat ditemukan di Indonesia, misalnya di erupsi Galunggung 1918, Kelud 1920, dan Merapi. Sekitar 40 kubah lava di Indonesia telah dideskripsi menjadi beberapa tipe. Hartmann menaksir bahwa separuh jumlah gunungapi aktif memproduksi kubah lava dengan kandungan 55% Si02, miskin gas, dan dengan suhu sekitar 95o C.
Bentuk kubah dipengaruhi oleh konfigurasi dari tempat lava diekstrusikan. Kubah tumbuh seiring dengan penambahan energi dari dalam sehingga luar lapisan sangat diregangkan. Akan terjadi semacam stratifikasi mantel berurutan yang paralel dari luar ke dalam dengan ketebalan sampai beberapa meter. Kubah yang terbentuk mempunyai kemiringan kubah antara 35°- 40°. Akhir pembentukan kubah lava akan membentuk depresi di bagian puncaknya. Depresi ini merupakan hasil berbagai faktor, seperti penyusutan oleh pendinginan, atau berhentinya tekanan keatas.

3. JENIS AKTIVITAS GUNUNGAPI

Kepulauan Indonesia menunjukkan adanya aktivitas gunungapi yang mempunyai cakupan luas. Mulai dengan ketenangan solfatara dan fumarole, dan meningkat secara ritmik, sehingga pelepasan energi di kawasan ini dapat dipelajari, termasuk letusan yang tidak terduga dari Tambora pada tahun 1815 dan Krakatau pada tahun 1883.

3.1. Aktifitas Solfatara dan Fumarol
Aktivitas solfatara dan fumarole mencerminkan kenaikan kandungan gas ke permukaan. Separuh pusat gunungapi aktif di Indonesia (89 dari 177) menunjukkan gejala ini.

3.2. Letusan Freatik
Letusan yang freatik terjadi karena adanya penambahan material gas yang mudah menguap (air, gas sulfur, karbondioksida dan semacamnya) yang berada di atas tubuh batuan beku yang panas, tetapi tidak diekstrusi oleh batuan tersebut. Contoh erupsi ini terjadi pada erupsi lumpur Kawah Baru di G. Papandayan pada kawah 1923 (Taverne, 1925), dan di Suoh pada tahun 1933 (Stehn, 1934). Erupsi freeatik Suoh memberikan pemahaman yang luar biasa. Pertama, letusan freatik yang dipicu oleh gempa bumi tektonik sangat jarang terjadi. Kedua, merupakan letusan freatik terbesar yang pernah diamati. Total jumlah lumpur yang dierupsikan sekitar 210 juta m3, menutupi daerah 35 km2 dengan ketebalan lapisan lumpur di pusat erupsi sekitar 20 m. Stehn mengkalkulasi kedalaman letusan mencapai 270 m.

3.3. Gunungapi Orogen
Gunungapi orogen normal memproduksi material magmatik alkali kapur, yang bervariasi dari erupsi eksplosif paroksismal tipe Plinian, sampai effusif lemah berupa sumbat lava. Jenis aktivitas gunungapi terutama tergantung pada dua faktor: a) sifat alamiah magma dan dinamika gas di dalamnya, dan b) komposisi kimia batuan, dan hubunganya dengan kandungan gas.
Escher (1933) menunjukkan bahwa karakter letusan terutama ditentukan oleh tekanan gas dan sifat kekentalan. Letusan Merapi merupakan prototipe aktivitas dari gunungapi tipe orogen di Indonesia. Gunungapi ini menunjukkan variasi karakter letusan yang beranekaragam. Kadang bersifat paroksismal dan meletus dengan waktu singkat dan kesempatan lain lava kental menerobos keluar pelan-pelan dari lubang konduitnya. Komposisi kimia dari lava, bagaimanapun, hanya sangat sedikit variasi dalam periode historis ini (54-55% Si02), sedemikian sehingga yang sifat kekentalan boleh berbeda dengan suhu tetapi sebenarnya relatif konstan.
Hartmann (1935) menggolongkan letusan Merapi ke dalam empat kelompok, berdasarkan isi gas dari letusan magma. Empat kelas ini menjadi proto-types dari gunungapi tipe orogen normal dengan produk batuan beku alkali kapur menengah. Secara umum, kelas A tidak menyebabkan letusan utama. Pada kelas B krisis mengikuti suatu fase awal, biasanya cukup waktu untuk pengungsian dan ukuran pencegahan lain. Yang paling berbahaya adalah letusan dari jenis C dan D, dengan pelepasan energi utama gunungapi tidak lama setelah permulaan siklus letusan.

Tabel 1: Penggolongan Erupsi Gunungapi (Hartmann)
Kelas A Wujud letusan sedikit / miskin gas. Fase awal dimulai dengan satu letusan kecil yang mengawali ekstrusi lava. Fase utama berupa pembentukan kubah lava dengan kecepatan 12.000 – 30.000 m3 per hari, sampai kubah mencapai volume besar, dan kemudian pertumbuhan kubah berhenti. Siklus diakhiri dengan proses guguran lava pijar yang berasal dari kubah. Kejadian guguran lava pijar dan awan-panas kecil dapat berlangsung.
Kelas B Wujud letusan lebih cukup banyak gas. Siklus diawali dengan adanya kubah lava sebagai batuan penutup kawah. Fase awal dimulai dengan letusan kecil yang menghancurkan batuan penutup. Fase utama berupa letusan tipe Vulkano yang bersumber di kubah lava dan menghancurkan kubah lava yang ada. Letusan menghasilkan asap letusan Vulkanian. Sebagian material kubah yang hancur manjadi awan-panas yang menyertai letusan tersebut. Fase akhir diisi dengan aliran lava kental atau pertumbuhan kubah lava baru pada bagian kubah atau di samping kubah yang hancur.
Kelas C Wujud letusan lebih banyak gas. Fase awal dimulai dengan adanya sumbat lava (bukan kubah lava) yang menutup kawah. Fase utama berupa letusan tipe St Vincent yang menghasilkan lubang baru. Fase akhir diisi dengan aliran lava, lidah lava, atau pertumbuhan kubah lava baru pada bagian kubah yang hancur. Jangka waktu letusan bervariasi, tetapi biasanya singkat. Ketika tekanan gas telah diturunkan oleh letusan ini, magma kental naik ke lubang konduit, sehingga menyebabkan suatu fase akhir dengan aliran lidah lava atau pembentukan suatu kubah lava.
Kelas D Wujud letusan lebih sangat kaya gas. Fase awal berupa letusan kecil yang melemparkan isi kawah. Fase utama berupa letusan tipe Perret yang langsung menyembur dan menghancurkan bagian atas tubuh gunungapi. Fase akhir diisi dengan aliran lava mengisi bagian tubuh gunungapi yang hancur. Pentingnya awan-panas yang menyertai erupsi ini sangat kuat, sebab puncak dari gunungapi adalah sering sebagian dirusak sepanjang fasa-utama dan material tua, begitu menambahkan kepada material baru, maka akan meningkatkan volume ladu dan menyertai awan-panas sepanjang fase erupsi.

3.4. Letusan Plinian
Letusan paroksismal paling kuat aktivitas gunungapi dimiliki oleh tipe Plinian. Salah satu contoh dikenal terbaik adalah letusan Krakatau pada tahun 1883 yang diuraikan Verbeek (1885), juga Escher (1919) dan Stehn (1929). Gentilli ( 1948) mempelajari kemungkinan efek dari letusan Krakatau 1883 pada iklim dunia.
Salah satu dari bencana gunungapi yang terbesar di zaman sejarah menjadi letusan dari Tambora pada 1815. Selama letusan ini tentang 150 juta m3 produk gunungapi dikeluarkan dan menyebabkan 92.000 korban yang merupakan seperempat total korban dari letusan gunungapi di dunia.

3.5. Letusan Katmaian
Di Indonesia tidak ada letusan jenis Katmaian. Letusan pernah terjadi pada zaman Holosen di Pasumah dan Toba. Studi mendalam aliran tufa liparit dan lava liparit akan mungkin mengungkapkan bahwa letusan celah itu jenis Katmaian, yang memproduksi ignimbrit.
Menurut Westerveld (1942) ignimbrit Pasumah di Sumatra Selatan juga merupakan aliran tufa riolitik yang terlaskan. Kristalisasi epigenetik gelas dari endapan tufa, dengan pembentukan albite sekunder dan tridimite dimasukkan sebagai pneumatolitik pada suhu 600° dan 400o C atau lebih rendah. Tufa Tuba di Sumatra Utara dikenali sebagai ignimbrit. Ignimbrit ini juga dikenali sebagai quartz-trachytes, quartz-trachyte-andesites, liparit, tufa liparit, atau riolit, yang pada dasarnya semua adalah batuan piroklastic. Tufa Toba tersebut menutupi kawasan seluas 20.000-30.000 km2 dan jumlah material yang secara umum disebut piroklastik ini terdiri dari kira-kira 1.500-2.000 km2.

3.6. Gunungapi Baru
Di Kepulauan ini gunungapi baru jarang terbentuk di dalam zaman historis. Di tahun 1898 pembentukan maar terjadi di Perkebunan Kali Jeruk, kaki G. Lamongan.
Di tahun 1943, di G. Pegunungan di Timur Laut Papua, letusan gunungapi terjadi pada suatu tempat sebelumnya tidak ada gunungapi aktif direkam, meskipun demikian ada laporan bahwa ada aktivitas solfatar di daerah ini.

3.7. Aktivitas Gunungapi Bawah Laut
Neuman van Padang (1938) menyebutkan pusat aktivitas gunungapi bawah laut berikut di Kepulauan Indonesia dan tetangganya.
Karakter dari suatu letusan sebagian besar ditentukan oleh sifat kekentalan dari magma dan tekanan gas. faktor yang membentuk tergantung pada komposisi kimia dan suhu. Magma subsilicatic basa sangat encer dibanding asam dan intermediet. Kita dapat menyusun berbagai jenis aktivitas gunungapi menurut tekanan gas dan yang sifat merekat di dalam tabel 2.

Tabel 2: Hubungan tekanan gas dan kekentalan lava
Kekentalan rendah Lembar lava, dengan contoh pada basal Sukadana dan rupsi fase B dari G. Tangkuban Prahu Stromboli, dengan contoh pada erupsi G. Batutara Erupsi tipe Plini, dengan contoh pada pembentukan kaldera G. Tambora 1815
Kekentalan menengah Aliran lava, dengan contoh pada erupsi G. Batur 1926dan G.Semeru 1941 Erupsi intermittent yang disebabkan oleh hujan dan awan-panas, dengan contoh erupsi G. Semeru 1885 - 1913 Erupsi tipe Plini , dengan contoh pada pembentukan kaldera G. Krakatau 1883
Kekentalan tinggi Kubah lava, misalnya pada erupsi G. Galunggung 1918 dan G. Merapi 1940 Letusan yang disebabkan oleh hujan dan awan-panas dengan contoh di G. Merapi 1930-1935, 1942-1943 Erupsi tipe Katmai, dengan contoh erupsi pra sejarah di Posumah
Tekanan gas rendah Tekanan gas menengah Tekanan gas tinggi
Klasifikasi A B-C D

4. PERIODISITAS AKTIVITAS GUNUNGAPI

Contoh baik periodiditas yang teratur tidak dijumpai karena tidak ada pengamatan detil, tetapi juga karena variabilitas dari faktor eksternal. Meskipun demikian, pengamatan dari dekat kadang-kadang menunjukkan suatu kecenderungan siklus, yang mungkin ditafsirkan sebagai ungkapan suatu kecenderungan waktu periodisitas aktivitas gunungapi.

4.1. Krakatau
Suatu irama dengan perioda erupsi yang berabad-abad ditunjukkan oleh kelompok Krakatau. Disini terdapat tiga siklus deferensiasi magmatik yang sesuai dengan peningkatan kandungan silika dari produk erupsi, yaitu fase Krakatau purba, fase Rakata, fase Perbuatan dan fase Anak Krakatau. Deduksi teoritis ini mempunyai hubungan yang tegas dengan tindakan pencegahan terhadap ancaman Krakatau. Ini penting untuk mendukung rasa hormat pada ahli gunungapi. Kejadian meletusnya Krakatau menunjukkan bahwa letusan akan cenderung diikuti oleh pengrusakan, dan bahkan akan menyebabkan ribuan orang meninggal. Penganan jauh hari penting dilakukan untuk menghindari.

4.2. Semeru
Semeru menunjukkan kecenderungan yang berbeda dalam waktu tertentu dalam langkah-langkah aktivitasnya: antara periode aktivitas yang kita temukan, periode tidur musim istirahat, serta durasi untuk tiap-tiap orde. Tetapi periodisasi aktivitasnya berumur beberapa hari sampai beberapa bulan dipisahkan oleh interval istirahat.

4.3. Kelud
Periode istirahat G. Kelud 1-12 tahun. Secara periodik meletus, membuang isi danau kawah di puncaknya. Ini menyebabkan bencana akibat suhu solfatar pada banjir lahar yang melanda lahan subur dan pemukiman di kaki gunungapi.

5. BENTUKAN GUNUNGAPI

Klasifikasi genetis bentukan vulkanik dapat diberikan, dan mempunyai keuntungan bahwa itu memungkinkan kita menguraikan hubungan antara proses tektonis dan gunungapi. Hasil bentukan gunungapi dapat dikelompokkan ke dalam dua kelas utama, yaitu a) bentukan positif (protuberance), dan b) bentukan negatif (hollow). Kedua-duanya dapat dibagi menjadi dua sub kelompok, yaitu sub-kelompok gunungapi, dan sub-kelompok volcano-tectonic.
Bentukan Positif Gunungapi, terjadi karena volume magma yang dikeluarkan sama dengan volume magma yang menekan ke atas. Termasuk golongan ini adalah: lava shield di Sukadana, comulo volcanoes di Lampung, cinder cone di G. Lamongan, dan strato volcanoes G. Merapi. Bentukan Positif Volcano-tectonic terjadi karena volume magma yang ditekan ke atas melebihi volume material yang dikeluarkan di permukaan. Termasuk dalam kelompok ini adalah punggungan akibat injeksi lakolit dan pengangkatan geantiklin karena gaya magma endogen. Termasuk golongan ini adalah pengangkatan karena pembubungan lakolit di kompleks Mapas, pengangkatan karena pembubungan batolit di Batak tumor, serta pengangkatan geantiklin karena pembubungan astenolit, misalnya di perbukitan Barisan.
Bentukan gunungapi negatif terjadi ketika jumlah material yang disebarkan oleh letusan lebih besar dari material yang dikirimkan dan disimpan di dalam kawah. Bentukan negatif gunungapi terdiri dari bentukan letusan atau bentukan amblesan.
Bentukan negatif dapat terjadi karena kegiatan letusan dan amblesan. Bentukan karena letusan terjadi ketika material yang dipindahkan lebih banyak dibanding magma yang dikirimkan ke permukaan. Bentukan eksplosif ini dapat berupa maar, misalnya di Grati, dan kawah di banyak tempat. Bentukan amblesan (kaldera) misalnya di Tengger. Bentukan negatif Volcano Tectonic dapat terjadi karena rifft-structure dan subsidence-structure. Rifft-structures (barranco, sector-graben dan lainnya, yang disebabkan oleh runtuhan kerucut vulkanik, misalnya G. Surapati; disebabkan oleh pengangkatan kerucut, misalnya G. Merbabu, disebabkan oleh tectonic arching, G. Ringgit-Beser. Subsidence structure, misal G. Ungaran.
Tanakadate (1929) memerikan beberapa tipe kaldera, yaitu: a) Kaldera Kawah, terdapat di bagian puncak dan dengan bentuk relatif bulat, sehingga seperti kerucut terpotong. Contoh kaldera jenis ini terdapat di Tengger dan Batur. b) Kaldera Depreso berhubungan dengan gunungapi maupun kompleks gunungapi, tetapi tidak selalu berubungan dengan pusat erupsi. Contoh kaldera ini di Bantam. c) Tipe kerucut, berbentuk konkoidal yang merupakan hasil erupsi 2 kawah bersamaan, yang berbeda dengan 2 sebelumnya. Cekungan Pilomasin di Lampung merupakan contoh kaldera ini