CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Kamis, 18 Juni 2009

Minyak di Lumpur Lapindo Harus Segera Ditangani

Pemerintah ataupun pihak Lapindo harus berhati-hati menyikapi keluarnya minyak dari lumpur Lapindo, Sidoarjo dan sebaiknya mulai memantau kawasan itu.

“Saya yakin Lapindo memiliki orang-orang yang ahli di bidang pertambangan untuk menanganinya. Jangan sampai masyarakat dibiarkan untuk menambang secara sembarangan,” kata Pakar Geologi Agus Guntoro kepada wartawan, di Jakarta, Minggu.

Menurut dia, apabila kegiatan penambangan di daerah semburan itu dilakukan secara sembarangan oleh orang awam, maka minyak tersebut dikhawatirkan akan habis dan saat minyak habis, yang akan keluar adalah gas.

“Jika gas yang keluar tentunya akan sangat membahayakan, sebab bisa meledak,” ujar Agus.

Lebih lanjut Agus mengungkapkan, minyak keluar karena menembus struktur yang besar seperti terlihat dalam seismik.

Zona patahan baru sampai dengan bagian bawahnya. Ketika air yang keluar sudah habis, maka minyaklah yang keluar. Kita harus tetap hati-hati kalau minyak yang keluar,” ujar Agus.

Sementara Guru Besar Geologi ITB, Prof. Dr. Sukendar Asikin mengatakan, pihaknya telah beberapa kali menegaskan bahwa “mud volcano” adalah salah satu indikasi suatu cekungan yang mengandung minyak.

Jadi, katanya, suatu cekungan yang mengandung minyak adalah suatu yang tidak aneh. Karenanya, wajar apabila pihak Lapindo melakukan explorasi di daerah seperti itu.

“Jadi, tidak ada yang membahayakan, bahkan hal itu sangat menguntungkan bagi pihak Lapindo,” katanya.

Dikatakan Sukendar, pihak Lapindo melakukan pengemboran adalah untuk mencari minyak. Akan tetapi, karena adanya bencana alam, maka yang keluar adalah lumpur.

“Sangat jelas bahwa tidak ada yang salah bagi pihak Lapindo dalam melakukan pengemboran. Sebab, ternyata memang benar di daerah itu terdapat minyak.Tapi, karena daerah itu sewaktu-waktu keluar lumpur oleh sebab geologi maka lumpurlah yang keluar. Jadi, sangat jelas bahwa di daerah itu memang daerah minyak,” ujarnya.

Lebih jauh Agus mengatakan, berbagai prospektif dapat terjadi dengan keluarnya kandungan minyak pada semburan lumpur Lapindo.

Keluarnya minyak pada semburan lumpur menurut dia tidak ada kaitannya dengan sumur tetapi jalur patahan.

“Sumur tidak ada konstribusi pada kedalaman 9230 kaki pada perut bumi. Artinya, minyak tidak terdapat dalam interval tersebut, tapi berada pada yang lebih dalam,” ujarnya.

Menurut Agus, dengan kedalaman 9230 kaki pada perut bumi, pemboran tidak pernah menjumpai adanya minyak, baik secara litologi maupun kandungan fluida. Karenanya, dengan keluarnya minyak, maka sangat jelas tidak ada kaitannya dengan sumur.(*)

Semburan Lumpur Sidoarjo Tidak Mengandung Minyak Mentah



Hasil penelitian dan analisa yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (PPPTMG) ‘LEMIGAS’ menghasilkan bahwa tidak ditemukan kandungan minyak mentah (crude oil) dalam jumlah besar pada lumpur di pusat semburan lumpur yang masih aktif di lokasi semburan lumpur Sidoarjo. Berdasarkan analisa menunjukkan hydrokarbon yang tercampur pada lumpur merupakan ceceran produk olahan dari minyak bumi (minyak pelumas bekas).

Penelitian dan analisa PPPTMG ‘LEMIGAS’ dilakukan sebagai tindak lanjut kejadian tanggal 19 Maret 2009 yang menjadi pemberitaan beberapa media masa yang menyebutkan adanya indikasi semburan minyak bercampur lumpur dan air di lokasi semburan gas Lumpur Sidoarjo. Selain tim dari PPPTMG ‘LEMIGAS’, pada pengambilan percontoh (sampling) pada tanggal 21 hingga 22 Maret 2008, juga dilakukan tim dari Direktorat Jenderal Migas dan Badan Geologi.

Percontoh atau sampling lumpur diambil dari Tanggul Cincin (TC) 45, TC 44.1, TC 42.1. Untuk percontoh minyak dan air diambil dari lokasi TC 46. Pengambilan percontoh lumpur kering dilakukan pada Tanggul Intra Section 16 dan Tanggul PPI 18. Sedang untuk percontoh gas diambil pada lokasi dekat Pabrik Kerupuk Candi, Desa Jatirejo (Tanggul Intra Section 22-23) dan Desa Ketapang (berupa gas bubbles). Semua percontoh (emulsi liquid, air dan gas) dianalisis di Laboratorium ‘LEMIGAS’.

Analisa yang digunakan terdiri dari analisa Total Petroleum Hydrokarbon (TPH), analisa Finger Printing, analisa Komposisi Gas, analisa Isotop Hydrokarbon dan analisa Oil Content. Berdasarkan analisa terhadap percontoh memperlihatkan terdapat live hydrokarbon dalam lumpur. Namun konsentrasi tergolong kecil dan masih dibawah ambang batas yang diperbolehkan berdasarkan ketentuan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Analisa Oil Content dan TPH terhadap percontoh air juga memperlihatkan dibawah ambang batas KLH sehingga aman dialirkan ke badan air.

Sedang analisa terhadap gas yang berasal dari gelembung gas (gas bubble), memperlihatkan bahwa gas tersebut merupakan gas methana yang merupakan hasil dari proses thermogenic dan tidak berbahaya. Gas yang keluar dari bawah permukaan ini berupa gelembung gas dengan tekanan rendah dan langsung tersebar ke udara sehingga konsentrasi gas methana menjadi kecil saat berada di dalam udara bebas.

Terhadap lumpur yang diduga mengandung minyak mentah (crude oil) juga tidak terbukti. Selain kandungan minyaknya sangat kecil, berdasarkan analisa, lumpur tersebut merupakan atau mengandung jenis tanah/lempung. Hal ini juga didukung analisis XRD bahwa lumpur/batuan percontoh mengandung jenis lempung yaitu smectite, kaolinite dan lilite serta sedikit clorite. Adapun kandungan logam berat pada percontoh juga tidak signifikan.

MENGEBOR TANPA CASING (?) / LALAI MEMASANG CASING (?)

MENGEBOR TANPA CASING (?) / LALAI MEMASANG CASING (?)

Istilah “mengebor tanpa casing” atau “lalai memasang casing” – sehingga mengakibatkan kejadian munculnya lumpur dalam skala massif ke permukaan – yang dijadikan argumen dari tuduhan banyak pihak (termasuk kepolisian) terhadap Lapindo merupakan istilah yang membingungkan. Karena sebenarnya yang terjadi adalah: dalam mengebor sumur Banjar-Panji-1 Lapindo “sudah” memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 feet, casing 20 inchi pada 1195 feet, casing (liner) 16 inchi pada 2385 feet dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 feet (Bahan presentasi Lapindo Press Rilis ke wartawan, 15 Juni 2006). Nah, ketika mereka mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 feet sampai ke 9297 feet, mereka “belum” memasang casing 9-5/8 inchi yang rencananya akan dipasang précis di kedalaman batas antara Formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung, yang dalam hal ini ternyata ketemunya di kedalaman 9297 feet tersebut. Dalam teknik pengeboran lapisan bumi, tentunya kita tidak mengebor lapisan baru dengan memasang casing menembus lapisan terlebih dulu, tapi setelah menembus/membuka lapisan baru tersebut menjadi lubang – barulah kita turunkan casing untuk menahan lubang supaya tidak runtuh, dan supaya dapat digunakan dalam proses eksplorasi selanjutnya (testing, produksi dsb).

Ada juga argumen yang dipicu oleh bocornya surat internal partner (Medco) ke media massa (Kompas, 14 Juni 2006) yang menyebutkan bahwa pada 18 Mei 2006, Medco sudah mengingatkan Lapindo sebagai operator untuk konsisten pada program, yaitu memasang casing 9-5/8 inchi di kedalaman 8500 feet. Maksudnya mungkin setelah memasang casing untuk melindungi lubang dari 3580 s/d 8500 feet itu, maka diperkirakan operasi pemboran akan aman di kedalaman-kedalaman berikutnya. Belum tentu juga! Pada saat itu mereka belum mengetahui sampai berapa dalam lagi mereka harus mengebor dalam kondisi tekanan tinggi (over-pressure) sehinga mencapai puncak Formasi Kujung yang relatif tekanannya lebih rendah dari Formasi Kalibeng yang sedang mereka tembus di kedalaman 8000-9000an feet tersebut. Yang menarik lagi dari argumen-argumen yang mendasari surat yang ”bocor” tersebut adalah:

  1. Sebenarnya bagaimana bunyi program casing 9-5/8 yang tertulis dalam buku program pemboran Banjar-Panji-1?
    1. Kalau bunyinya: “Pasang casing di kedalaman +/- 8500 feet atau apabila telah menembus puncak dari Formasi Kujung; tergantung dari mana yang dicapai terlebih dulu” maka dalam hal kedalaman 8500 feet telah dicapai tapi belum menyentuh puncak dari Formasi Kujung, seharusnyalah pemboran dihentikan untuk evaluasi dalam rangka memasang casing.
    2. Tetapi kalau bunyinya: “Pasang casing di puncak Formasi Kujung yang diperkirakan pada kedalaman +/-8500 feet”, maka pemasangan casing pada kedalaman 8500 feet bukan sesuatu yang mandatory (harus dilakukan) tetapi hanya perkiraan saja; sementara tujuan utamanya adalah memasang casing di puncak Formasi Kujung yang dalam hal ini ditembus pada kedalaman 9297 feet (pada saat terjadi loss-circulation atau terhisapnya lumpur ke dalam lubang pemboran karena diasumsikan sudah memasuki Formasi Kujung yang sangat berongga).
  2. Menurut informasi internal dari Lapindo bahwa sebenarnyalah mereka berhenti mengebor pada kedalaman +/- 8700 feet, yaitu setelah menembus 8500 feet tapi belum juga mendapatkan puncak Formasi Kujung (informasi ini harus dicek kebenarannya dengan melihat Daily Drilling Report). Dalam operasi pemboran, diperlukan “rat-hole” (lubang tambahan di bawah target penghentian pemboran) untuk mendapatkan informasi lengkap dari kedalaman target yang bisa di-cover oleh panjangnya alat logging (perekam sifat lapisan batuan di lubang pemboran). Dalam hal ini rat-hole tersebut panjangnya 200 feet dibawah 8500 feet. Data keratan batuan (cuttings) dari kedalaman +/- 6100 feet sampai 8700 feet semuanya menunjukkan bahwa sumur Banjar-Panji-1 menembus lapisan batupasir pada interval tersebut. Demikian juga info yang didapat dari alat perekam lapisan batuan (logging) juga menunjukkan hal yang sama (open hole log ini-pun harus di-cek kebenaran interpretasinya)
  3. Karena ternyata masih belum menembus puncak Formasi Kujung (dibuktikan dengan terus menerus munculnya lapisan batupasir s/d kedalaman 8700 feet), dan karena masih berada pada interval batupasir (yang secara prosedur teknis keselamatan pemboran TIDAK COCOK UNTUK DIPASANGI CASING-SHOE karena kekuatannya terhadap tekanan akan sangat lemah dibandingkan dengan batulempung), dan juga belajar dari pengalaman pemboran Porong-1 yang memasang casing 9-5/8” masih di interval overpressure Kalibeng – menyisakan puluhan feet overpressure Kalibeng Clay untuk dibor lagi sebelum tembus Formasi Kujung – dan setelah itu mengalami “loss” dan “kick” berulang-ulang ketika sudah menembus Kujung (sehingga harus merelakan sumur Porong-1 sebagai sumur gagal: disemen “plug” dan ditinggalkan), maka keputusan untuk tidak memasang casing 9-5/8” di 8500 feet merupakan keputusan yang SANGAT RASIONAL, TEKNIKAL, DAN AMAN (SAFE) pada waktu itu.
  4. Tentu saja keputusan untuk meneruskan pemboran tanpa memasang casing 9-5/8” terlebih dulu (setelah run logging pada 8700-an feet) harus didasarkan pada prasayat (asumsi) bahwa:
    1. Seluruh rangkaian casing dangkal sampai intermediate (30”, 20”, 16”, dan 13-3/8”) telah terpasang dan TERSEMENKAN dengan sempurna, sehingga kalau terjadi tendangan (kick) dari daerah lubang terbuka di bawah casing-casing tersebut, maka rangkaian casing tidak akan goyang, rusak, atau bahkan jebol. Perlu dicatat bahwa pada waktu mengebor Porong-1, Huffco Brantas juga mengalami loss & kick yang dapat diatasi di permukaan dan tidak menyebabkan retakan di bawah permukaan (underground blow-out) karena casing-casing dangkal & intermediate-nya terpasang sempurna.
    2. Kekuatan menahan tekanan pada sepatu casing (casing-shoe) yang terdalam (yaitu 13-3/8” pada 3580 feet) – yang diukur dari proses Leak-Off Test (LOT) sebelum mengebor lebih dalam dari 3580 feet – benar-benar seperti yang dituliskan dalam laporan pemboran, yaitu: 16.4 ppg EMW, dan maksimum berat lumpur yang dipakai dalam pemboran berikutnya sampai kedalaman maksimum 9580 feet tidak melebih 15.4 ppg (dengan menghitung ECD tambahan 1 ppg).
  5. Prasyarat (asumsi) butir 4-a merupakan prasyarat mutlak yang harus diyakinkan pada waktu selesai logging pada 8700 feet dan memutuskan untuk terus mengebor sampai ketemu puncak Formasi Kujung. Apabila pada waktu itu (bahkan pada waktu di awal-awal pengeboran interval 3580-8700 feet) proses evaluasi kekuatan casing-casing yang sudah terpasang tidak dilakukan atau dilakukan dengan seadanya atau dilakukan tanpa mempertimbangkan lebih lanjut tentang factor keamanan-nya lebih rinci, maka hal ini patut disayangkan. Pada kenyataannya terjadinya under-ground blow-out mengindikasikan bahwa casing 13-3/8” telah rusak dan bahkan “menjepit” pipa pada waktu mereka memutuskan untuk mencabut rangkaian pipa secara keseluruhan (Lihat Bahan presentasi Lapindo Press Rilis ke wartawan, 15 Juni 2006). Apabila pada saat itu telah diyakini (dan diketahui) bahwa kondisi casing yang telah terpasang TIDAK AMAN, maka selayaknyalah pengeboran dihentikan saja dan dicarikan rekayasa untuk memperbaiki kondisi casing yang tidak aman tersebut, …. sampai aman,.. baru diteruskan pemborannya. Tetapi apabila kondisi casing yang tidak aman tersebut TIDAK BISA DIAKALI (tidak bisa dikoreksi), maka pilihan terburuknya adalah menge-“plug” lubang dengan semen, merancang ulang disain casing dan mengimplementasikannya di casing-casing dangkal, baik dengan meneruskan pemboran di lubang yang lama, maupun side-track, ataupun… membuat lubang baru.
  6. Prasyarat (asumsi) butir 4-b merupakan prasyarat yang harus diikuti pada waktu sudah memutuskan untuk mengebor lanjut dari 8700 feet-an sampai ketemu dengan puncak Formasi Kujung. Apabila sampai kedalaman 9580 feet dan berat lumpur sudah 15.4 ppg tetapi tetap belum menembus Formasi Kujung (karena prediksi dari seismic meleset), maka mau tidak mau pengeboran harus dihentikan. Selanjutnya: plug dengan semen, mau tinggalkan sumur atau side-track (tentunya setelah evaluasi seismic lagi) terserah kepada operator, tergantung seberapa kuat secara ekonomis Lapindo berani beresiko lagi dengan ketidakpastian interpretasi tsb).
  7. Yang terjadi ternyata: pada 9297 feet matabor menembus formasi yang menyebabkan LOSS CIRCULATION (dengan berat lumpur 14.7ppg??), yang besar kemungkinan itulah puncak dari Formasi Kujung yang ditunggu-tunggu. Prosedur yang dilakukan pada waktu itu adalah mengatasi loss dengan LCM, membuatnya menjadi static, kemudian mencabut rangkaian untuk diganti dengan Open-ended Drill-pipe dalam rangka menyemen-plug zona loss Kujung tersebut. Barulah setelah zona loss ditutup semen, maka casing 9-5/8” akan dipasang précis di puncak Formasi Kujung tsb. NOTHING WRONG dengan rencana tersebut. Malah memang sebenarnya itulah yang harus dilakukan.
  8. Tetapi dalam proses mengimplementasikan rencana tersebut terjadilah hal-hal dibawah ini:
    1. Tendangan (kick) pada waktu matabor sdh diangkat pada kedalaman 4241 feet (masih di open-hole). è Ini kemungkinan disebabkan oleh kecepatan POOH yang terlalu cepat (effek swabbing), atau pada saat akan mencabut, hi-vis pill tidak cukup berat menahan tekanan formasi (dari sepanjang interval 4241-9297 yang terbuka tersebut)
    2. Tendangan dapat diatasi dengan menutup BOP, menyalurkan ke diverter yang keluar berupa gas H2S dan air. Ini juga OK, sesuai dengan prosedur. Hanya saja setelah itu dihitunglah killing mud berdasarkan info SIDP dan SICP yang kemungkinan hasil perhitungannya dan juga “the real” killing mud yang dimasukkan beratnya melebihi kekuatan daya dukung casing shoe di 3580 feet,.. sehingga menyebabkan retakan di sekitar casing shoe, goyangnya casing 13-3/8” (mungkin semennya kurang =è musti diteliti juga) yang terus merembet ke atas, akhirnya muncul ke permukaan membawa lumpur dari Kalibeng Clay (2000-6000 feet). Harap dicatat: letak casing shoe 13-3/8” ada di tengah-atas dari interval Lempung Kalibeng ini, sehingga material-material inilah yang akhirnya terbawa ke permukaan.
    3. Menganggap bahwa kick sudah bisa diatasi, maka usaha pencabutan rangkaian pemboran diteruskan. Tetapi yang terjadi: STUCK di dalam casing. Hal ini ada 2 kemungkinan penyebabnya: “pack-off” dari cutting, material batuan yang ikut terbawa ke atas pada waktu kick telah membuat casing menjadi “choked-off” sehingga menyempit, atau terjadi CASING COLLAPSE, yaitu casingnya mengkerut di titik terjadinya stuck karena ada tendangan tekanan dari samping yang tidak dapat ditahan karena semennya tidak bagus. Manakah diantara keduanya yang benar: SNUBBING UNIT akan menjawabnya. Jika snubbing unit dapat melewati titik jepitan hanya dengan “washing” the hole maka berarti telah terjadi “pack-off” tapi bila snubbing unit tidak bias melewatinya, berarti casingnya memang telah mengkerut.

Dari uraian diatas, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa permasalahannya bukan karena tidak memasang casing 9-5/8” di 8500 feet. Tapi karena masalah-masalah lain. Tentunya Tim Investigasi-lah (Pak Rudi Rubiandini dkk) yang nantinya dapat menjelaskan secara rinci kepada kita semua apa sebenarnya masalah yang terjadi. Merekalah yang punya previllege melihat dan menelisik data-data yang ada. Kita hanya dapat mengamati dari kejauhan sambil mencoba menganalisis dari info-info berseliweran yang keabsahannya belum tentu benar. Hanya saja, kalau menggunakan logika-logika operasional pemboran secara umum, maka hal-hal seperti diataslah yang dapat kita sumbangkan kepada anda semua. Belum tentu benar. Harus diTEST , DICEK , DIKRITISI dengan menengok, memeriksa, melihat data2nya langsung.

Casing shoe

From Wikipedia, the free encyclopedia

In oil drilling and borehole mining, a casing shoe or guide shoe is a bull-nose shaped device which is attached to the bottom of the casing string. A casing hanger, which allows the casing to be suspended from the wellhead, is attached to the top of the casing.[1]

Rusia Siap Kelola Migas Indonesia

"Rusia siap membantu dalam hal penyediaan teknologi tinggi untuk mengelola minyak dan gas Indonesia, selain itu juga akan disiapkan tenaga ahli untuk berbagi pengalaman," katanya di Jakarta, Kamis (4/6).

Dikatakan, Indonesia yang memiliki potensi minyak dan gas sudah dikelola oleh pihak Pertamina. Namun, jika ingin ditingkatkan pengelolaannya, tentu membutuhkan teknologi tinggi agar bisa optimal hasilnya.

Berkaitan dengan hal tersebut, ia mengatakan, pemerintah Rusia bersedia bekerja sama dengan pihak pemerintah Indonesia untuk mengelola minyak dan gas di negara ini.

Berdasarkan data Departemen Perindustrian diketahui, potensi migas di Indonesia sekitar tahun 1972-1979 pernah mencapai angka produksi minyak 1106 juta barrel per hari. Namun jumlah tersebut terus menurun, dan diprediksi tahun 2021 nanti tinggal 200 ribu barrel per hari.

Mencermati hal tersebut, Ivanov mengatakan, untuk mengelola minyak yang semakin menurun produksinya itu, maka salah satu cara untuk mengoptimalkannya lagi dengan penggunaan teknologi yang dapat memacu efisiensi dan efektifitas kinerja di lapangan.

Untuk pengelolaan gas, Rusia sudah terkenal sebagai penyuplai gas ke negara-negara Eropa, karena seperempat impor gas Eropa bergantung pada Rusia.

"Karena itu, Indonesia dapat belajar dari sistem pengelolaan gas Rusia, termasuk penggunaan sarana teknologinya yang sudah menggunakan teknologi tinggi," katanya. [*/cms]